Hidup untuk makan atau makan untuk hidup? Jangan tertipu dengan gemuknya badanku. Semakin saya gemuk semakin stres saya karena kalau stres jatah makanku makin banyak.
Masalah makan selalu menjadi momok buatku. Bagaimana tidak? Saya pengen makan ini itu tapi lambung saya ga mau terima. Saya pengen nyoba resep masakan ini tapi harus mikir lagi ada beberapa bahan yang saya skip demi lambung saya.
Sejak saya bermasalah dengan lambung saya jadi paranoid kalau mau makan. Dulu saya bisa makan roti dan biscuit sekarang tidak. Dulu saya bisa makan tahu tempe sekarang tidak. Dulu saya bisa makan ikan laut sekarang tidak. Akhirnya saya cuma makan nasi , sayur dan buah. Sehat tentu saja. Tapi kini sayuran pun tidak semua bisa saya makan. Hanya wortel, bayam dan kentang yang aman. Buah juga hanya pisang raja dan pepaya. Semakin hari makanan yang saya makan semakin minim menu. Tapi saya masih bersyukur masih bisa makan.
Jujur ketika kumat, saya takut sekali karena kalau sudah muntah itu ga brenti brenti. Dari sore sampai pagi cairan asam lambung terus menerus keluar. Jika sudah begitu saya inginnya ditemani adik saya. Tapi dia tidak selalu bisa menemani. Adikku harus bekerja juga keluar kota. Itulah yang membuat saya semakin takut.
Kemarin Minggu adik saya sudah berencana pulang, tapi Sabtu sore saya muntah terus sampai pagi. Saya tahu dia kesal karena saya sakit ga sembuh-sembuh, salah makan dikit muntahnya ga berhenti. Kadang saya merasa sedih kenapa saya mengalami hal ini. Kadang saya beli buah ga kebeneran bisa muntah.
Hidup sendirian dengan anxiety dan psikosomatis itu ga mudah. Kalau Cuma masalah anxienya aja masih bisa dihadapi dengan sugesti tapi kalau sudah sampai muntah dan lemas saya nyerah.
Adik saya pernah menawari saya tinggal di Semarang. Tapi saya merasa tidak bisa pindah saya ga kuat perjalanan jauh, di sana kalau mau kemana-mana jauh harus naik motor, saya ga geduk naik motor. Saya merasa lebih repot adik saya pun sibuk tidak bisa dimintai tolong terus. Saya makin merasa dilemma.
Hari hari ini saya memang masih ditemani adikku, saya berlatih setiap hari supaya berani keluar rumah sendiri. it is ok saya berani asal makanan yang saya makan tidak tumpah saya berani. Tapi kadang tanpa bisa diprediksi kondisi tubuh saya melemah.
Jika sudah menjelang jam 2 siang, badan mulai lemas, untuk memasak pun saya ga kuat apalagi cari makan di luar dan antri. Saya merasa menjadi beban untuk adikku, tapi mau gimana lagi. Kadang saya berpikir apa bisa saya menikah dan punya anak kalau mengurus diri sendiri saja susah.sungguh saya dilemma.
Jujur, saya ingin seperti kalian, normal, sehat, mau traveling kemana aja oke, mau kopdar blogger oke, mau masak sesuai resep masakan yang ada di buku resep oke, ga milih-milih makanan. Gimana mau jadi foodblogger kalau makan aja dipilihi lambungnya ga cocok. Disitu kadang saya merasa sedih. Tapi apapun itu hidup memang harus disyukuri. Semoga saya bisa menemukan solusi yang tepat untuk rasa dilematis yang melanda ini.